Selasa, 25 September 2007

ubud writers & readers festival


SATUKOSONGDELAPAN TEATER
A Trrible Beauty: on Being in Bali by Ray Harding
feat : Isna N, Wahyu A, Satrio Welang, Sagung, Mpol, Dyazz, Diah Utami, Indra p, Lia, Directed by: Giri Ratomo,Translated by: Kerensa Dewantoro

ubud writers & readers festival17:30pm-18:30pm - Lemak Restaurant Ubud - BALI
19:00-21:00 - The Yoga Barn Ubud - BALI
thursday 27 september 2007

Read More..

dolrased


salam dari awak dolrased.
ketika raga tak lagi jumpa tapi,, tapi hati tetap bertegur sapa. ahhhh entah dimana kenanganku sekarang, mungkin dibatam, di jakarta, di jogja juga di turki, atau dimana sadja berada.
bukan apa dikata,,, kalau pingin nulis n biasa bercakap kala masa itu,,, kirim email sadja di teater108@gmail.com nanti kupupublikasikan di halaman ini... tak apalah belepotan seperti kang masmu ini yang lagi kesepian...
seperti kenangan bukit penuh mashrum dan guyuran air kita di bali,,, aku menunggumu cintaku nan entah dimana......
mis yu

Read More..

Death of a Salesman

Realisme Penumpang Asing dalam Teater Indonesia
Sabtu, 04 Desember 2004

BARANGKALI ungkapan sutradara Putu Wijaya dan pengamat teater Radhar Panca Dahana cukup mewakili kenyataan yang kini melanda dunia teater (modern) kita. Putu mengatakan, bagi masyarakat Indonesia yang memiliki seni tradisi, realisme adalah penumpang asing yang baru datang, tetapi sudah langsung main kayu.

PADA awalnya Putu memaksudkan pernyataannya itu untuk menggambarkan betapa realisme masuk ke Indonesia dengan sangat deras dan tanpa basa-basi. Sementara sebagian besar dari kita memahami teater dari kacamata tradisi: bahwa teater senantiasa ada kaitan dengan hal-hal yang menyangkut ritual dan spiritual. Tetapi Radhar mempertegasnya dengan mengungkapkan kondisi mutakhir perteateran kita. "Realisme yang sampai kepada kita tidak tuntas, tidak mendalam, tetapi kita sudah buru-buru beralih kepada bentuk-bentuk lain," kata Radhar. Kepekatan pengaruh estetika teater tradisi telah menyebabkan kita tidak seutuhnya menangkap realisme.

Radhar adalah satu dari pengamat/penikmat teater yang setia mendatangi acara Panggung Teater Realis Indonesia, 26 November-2 Desember 2004, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Kelompok-kelompok teater yang diundang antara lain Studiklub Teater Bandung (STB), Teater Populer, Teater Gapit, Teater Gidag-Gidig, Teater Makassar, Teater Aristokrat, dan Komunitas Satu Kosong Delapan.

Sampai kini tonggak masuknya realisme ke dalam perteateran Indonesia dimulai ketika Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D Djajakusuma mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1950-an. Setidaknya institusi ini melahirkan Teguh Karya yang kemudian mendirikan Teater Populer.

Menurut Radhar, kepergian tokoh-tokoh seperti Teguh, Wahyu Sihombing, dan Suyatna Anirun dari STB, serta beberapa penganut realisme lainnya membuat gamang pengikut realisme berikutnya. "Dan itulah yang terjadi dalam Panggung Teater Realis itu," kata Radhar. Seolah-olah, tambahnya, teater realisme di Indonesia sudah mati sebelum selesai benar "diwariskan", dalam pengertian mencapai bentuknya yang "sempurna".

JIKA sebuah perhelatan berangkat dari sebuah kegamangan sejarah, ditambah jelajahan intelektual yang "miskin" dari para pelakunya, hasil apakah yang bisa diharapkan? Ambillah apa yang ditunjukkan oleh Teater Makassar, Sabtu (27/11) yang memainkan Hantu-Hantu karya Henrik Ibsen. Teater ini sebenarnya memiliki "tradisi" pementasan yang begitu panjang, terbukti sudah pentas sejak awal tahun 1970-an, tetapi masih saja tidak mampu menguasai hal-hal elementer seperti melakukan reinterpretasi terhadap naskah.

Hantu-Hantu karya Ibsen mewakili perdebatan kaum romantis dengan berembusnya pikiran-pikiran realis. Dan itulah yang menjadi awal mula berkembangnya realisme pada abad ke-19. Bayangkan perdebatan yang penuh makna-makna filosofis, dimainkan dalam waktu tak kurang dari tiga jam tanpa upaya aktualisasi, betapa akan menjadi naifnya bukan? Kita seolah sedang berhadapan dengan heroisme masa lalu belaka. Perdebatan itu tentu saja menjadi persoalan yang berdebu, di mana terentang jarak lebih dari satu abad antara penulisan naskah dan situasi mutakhir. Celakanya, tidak tampak upaya kelompok ini untuk menarik persoalan satu abad lalu itu, menjadi soal-soal kita dalam keseharian sekarang ini.

Kelompok ini rupanya sangat menganut paham, "teater realis adalah teater yang memindahkan realita begitu saja ke atas pentas". Dalam skala tertentu pandangan semacam ini sangat terlihat formalistis. Dan oleh karena itu, ia seolah-olah menghilangkan begitu saja "perjuangan" realisme atas dominasi kaum romantis yang sibuk melakukan pemujaan terhadap raja-raja yang diperlakukan sebagai dewa. Bahwa teater realis dihasratkan mengangkat kenyataan-kenyataan sosial yang kasat mata, problematika manusia sehari-hari, dan bukan buah pikiran atau cita-cita.

Radhar Panca Dahana mengatakan, selain kemiskinan penjelajahan intelektual, teater Indonesia yang mengaku realis terjebak oleh bentuk-bentuk realitas dangkal yang dipertontonkan televisi kita.

Cobalah tonton kembali apa yang dipentaskan Komunitas Satu Kosong Delapan (Denpasar), yang memainkan Matinya Seorang Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Selasa lalu. "Apa yang mereka pertunjukkan boro-boro memahami realisme secara benar, mereka malah berpentas sebagaimana pementasan teater 30 tahun lampau. Malah kebocah-bocahan begitu," kata Radhar.

Begitu juga pementasan Teater Aristokrat Jakarta, Senin lalu, berjudul Polisi karya Slawomir Mrozek. Guyonan-guyonan yang muncul dalam pementasan itu bukanlah lahir dari situasi sebagaimana isi dari naskah Mrozek. "Mereka menyuguhkan lelucon-lelucon yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri," kata Radhar lagi.

Kualitas pementasan semacam ini, tambah Radhar, justru menjadi "promosi" negatif terhadap situasi teater kita. "Kesempatan yang telah diberikan tidak dimanfaatkan dengan upaya sungguh-sungguh oleh para insan teater sendiri," katanya.

Masih untung dua hari menjelang perhelatan ini berakhir tampil Teater Gidag-Gidig, Rabu lalu, yang membawakan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya dan Teater Populer, hari Kamis, dengan lakon Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat Kartamihardja. Dua kelompok ini terbukti sangat fasih memainkan dua lakon tadi. Mereka benar-benar menampilkan penguasaan panggung serta materi yang pantas dipuji. Lepas bahwa Dag Dig Dug bisa dibantah sebagai naskah realis, Gidag-Gidig telah menunjukkan kepada publik teater kita, bagaimana cara yang benar memperlakukan sebuah materi.

Upaya DKJ menghadirkan kelompok-kelompok teater dengan "klaim" realis ini, pada satu sisi mungkin membuka kemungkinan membongkar kembali banyaknya "kekeliruan" di dalam menerjemahkan realisme. Namun pada sisi yang lain, perhelatan ini telah membantah dalilnya sendiri yang ingin membuktikan bahwa teater realis masih ada di Indonesia.

Kepergian tokoh-tokoh penyebar realisme, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, D Djajakusuma, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, dan Suyatna Anirun dalam tesisnya, tidak secara langsung melunturkan realisme itu sendiri. Sayangnya, paling tidak untuk kelompok-kelompok seperti STB, Teater Aristokrat, Teater Gapit, Teater Makassar, dan Komunitas Satu Kosong Delapan, tidak satu pun yang berhasil mempertunjukkan sebuah bukti bahwa realisme itu hidup dengan layak di dalam jagat teater kita. Realisme tetap menjadi "orang" asing yang tampak begitu sulit diakrabi. (CAN)

Read More..

Death of a Salesman


Panggung Teater Realis Indonesia di TIM
Jum'at, 19 November 2004

KOMITE Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan acara bertajuk Panggung Teater Realis Indonesia pada 26 November sampai dengan 2 Desember mendatang.

Seksi Publikasi DKJ Ags Arya Dipayana dalam siaran persnya, kemarin, menyebutkan acara itu meliputi sejumlah pertunjukan, diskusi, dan pemutaran film dokumentasi teater realis dari dalam dan luar negeri. Seluruh acara di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Sejumlah kelompok teater dari beberapa kota, termasuk yang paling awal berdiri di Indonesia yang dikenal memiliki persentuhan dengan realisme diundang untuk pentas. Misalnya, Studiklub Teater Bandung, Teater Populer dan Teater Aristokrat (Jakarta), Teater Makassar, Teater Gapit, dan Teater Gidag Gidig (Solo), serta Komunitas Satu Kosong Delapan (Denpasar).

Mereka akan membawakan naskah realis yang teruji dan diakui memiliki standar kualitas karya penulis seperti Arthur Miller, Henrik Ibsen, Anton P Chekhov, Achdiat Karthamihardja, dan sebagainya.

Gagasan untuk menyelenggarakan acara ini didasari pada keinginan untuk memberi ruang bagi mereka yang secara konsisten mengambil jalur realis, di tengah gebalau pencarian bentuk-bentuk pemanggungan yang berbeda dalam kancah seni pertunjukan di Indonesia.

Melalui acara ini juga diharapkan dapat dilacak kembali perkembangan seni pertunjukan, khususnya teater di Indonesia. (Daf/B-5)

SMA di Kalsel akan Diakreditasi

DINAS Pendidikan Nasional (Diknas) Kalimantan Selatan (Kalsel) bekerja sama dengan Badan Akreditasi Sekolah (BAS) akan menyelenggarakan akreditasi terhadap SMA di Kalsel. Akreditasi tahap pertama akan dilakukan pada 40 SMA dari 120 SMA di Kalsel.

Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kalsel, Bardiansyah, didampingi Kepala Subdin Pendidikan Menengah Diknas Kalsel Ardiyansah, kemarin, mengatakan pihaknya telah membentuk badan akreditasi sekolah yang independen. Badan ini beranggotakan sebelas orang yang berasal dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan mantan pengawas sekolah.

''Akreditasi ini menjadi persyaratan sekolah bersangkutan bisa menyelenggarakan ujian sekolah nasional menyusul wacana penghapusan ujian akhir nasional,'' katanya.

Akreditasi tahap pertama Desember untuk 40 SMA sederajat di Kalsel.

Adapun kriteria penilaian meliputi sarana dan prasarana sekolah, manajemen sekolah, dan tenaga pengajar. Bagi sekolah yang dinyatakan gagal akreditasi otomatis tidak bisa menyelenggarakan ujian nasional.

Di masa datang, akreditasi juga akan diterapkan pada SMP dan SD. Melalui akreditasi ini, katanya, akan mampu mendongkrak prestasi dan kualitas pendidikan di Kalsel. (DY/B-5)

Read More..

Death of a Salesman

Matinya Seorang Pedagang Keliling
Panggung Cantik, Akting Tak Menarik Kamis, 02 Desember 2004
JAKARTA – Panggung di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki dirancang apik oleh Kelompok Satu Kosong Delapan, Bali. Ada rumah bertingkat dua, dengan sebuah kamar bertempat tidur dua di bagian atas. Bagian bawah, ada ruang tamu dan meja makan. Di sisi kiri panggung, tergolek dipan yang diimajinasikan sebagai ruang tidur, dan pintu bertirai yang bisa membentuk siluet orang yang berada di belakangnya.
Panggung adalah imajinasi Kelompok Satu Kosong Delapan terhadap rumah yang ada dalam naskah karya Arthur Miller berjudul Death of A Salesman atau Matinya Seorang Pedagang Keliling. Karya ini dipentaskan sebagai bagian dari acara Panggung Teater Realis Indonesia, Selasa (30/11).
Sayangnya, panggung yang dibuat sangat cantik ini tidak diisi dengan tontonan yang sama menariknya. Disutradarai Giri Ratomo, para pemain yang hampir seluruhnya berusia muda berakting sangat membosankan, baik ekspresi wajah, intonasi bicara, maupun gerak tubuh. Tampak betul, mereka masih belum menikmati dialog yang diucapkan.
Penjiwaan yang tidak memadai ini terlihat pada adegan, misalnya, Miss Francy yang berteriak kepada Willy (dimainkan Kadek Curek Kurniawan Adiputra), tiba-tiba berbalik badan tanpa alasan yang jelas. Atau Willy memotong dialog Linda (diperankan Ratna Ariyatiningsih) saat ucapan istrinya itu masih mengantung. Hal ini terjadi berulang-ulang.
Kelemahan lain muncul saat perpindahan adegan. Satu adegan, Biff (Nur Setyanto) dan Happy (Fauzan Nadir) tertidur di lantai atas dan Willy bercerita tentang kedua anaknya. Tiba-tiba saja, keduanya telah muncul di bawah, tanpa ada tanda-tanda perpindahan adegan, dengan pencahayaan, ataupun musik misalnya.
Penampilan aktor ayah dengan aktor anak tak bisa dibedakan baik dalam vokal, make-up atau ekspresi wajah juga gesture tubuh yang sama sekali tak menunjukkan ketuaan usianya. Dialog antara Willy dan kedua anaknya, tak memperlihatkan perbedaan generasi. Karakter dan gaya pengucapan di antara mereka bertiga bahkan terlihat hampir sama. Willy tampil dengan sangat muda, energetik, suara yang bersemangat dan gerak yang tidak memperlihatkan sama sekali usia 40 hingga 60 tahun.

Naskah
Satu hal yang aneh, nama-nama tokoh maupun tempat yang tak diubah ke dalam nuansa lokal ternyata tidak sejalan dengan logat para pemainnya. Dengar saja Paman Ben yang berlogat Bali kental.
Tak bisa dihindari apabila akhirnya beberapa penonton bolak-balik atau keluar dari arena pertunjukan, karena dialognya yang memang tak berisi. Padahal, kisah yang diangkat si Miller sangat menarik dan memberi keleluasaan menggali karakter para pemain. Seorang pedagang keliling, Wolly Loman, dulunya optimistis dan penuh percaya diri, sayang ia tidak pernah berhasil. Pemberontakannya yang tak usai pada kegagalan hingga berujung pada ketuaan, pemecatan, dengan serangkaian kesombongan yang tiada henti, bahkan sampai dia menjelang mati.
Willy beristrikan Linda dan punya dua anak, Happy Loman dan Biff Loman, yang keduanya dibebaskan sejak masih bersekolah untuk bebas, sehingga kerap menerima kegagalan termasuk dalam ujian matematikanya. Biff, bahkan akhirnya tak diterima saat bekerja. Bernard, kawan kedua anaknya yang selama ini dianggap pecundang, malahan sukses ketika dewasa.
Naskah Miller mengangkat seputar keruntuhan impian orang Amerika ini, yang telah dikondisikan percaya pada kecantikan dan karisma ketimbang sekedar kepribadian. Nyatanya, mereka menjalani hidup menjadi orang biasa, seperti Willy seorang wiraniaga yang kerap berutang, bukan orang terhormat kecuali sisa keras kepala pada kesetiaan akan idealisme butanya.
Meski khas dengan realitas tradisi Amerika, karya Miller ini tetap terbuka untuk diadaptasi sesuai budaya negeri mana pun. Atau, bila bukan berupa adaptasi (mempertahankan naskah aslinya), diharapkan pemain bisa mengimbangi bagaimana keluarga yang gamang di tengah modernitas itu, di negeri Paman Sam sekalipun berdialog bahasa Indonesia, namun bisa terkesan netral.
(SH/sihar ramses simatupang)

Read More..

Death of a Salesman

Kunci Rahasia Bernama ''Stocking''
Pementasan Teater 108 Minggu Wage, 28 Nopember 2004

KELOMPOK Teater Satu Kosong Delapan (108) pada Selasa (23/11) malam mementaskan "Matinya Pedagang Keliling" (Death of a Salesman) karya Arthur Miller di Wantilan Taman Budaya Denpasar. Pementasan yang dimulai pukul 19.30 wita itu cukup mendapat perhatian dari masyarakat -- kalangan siswa, mahasiswa, pelaku dan pecinta teater, serta para akademisi. Pementasan ini berdurasi empat jam.

Pementasan ini merupakan ajang "pemanasan" sebelum kelompok Teater 108 mementaskannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Giri ratomo, sang sutradara, ini merupakan gladi resik sebelum dibawa ke acara "Panggung Realis Indonesia" yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 26 November-2 Desember 2004 mendatang.

Naskah "Matinya Pedagang Keliling" bertutur soal tragedi. Tragedi ini berawal ketika Biff Lowman menemui bapaknya (Willy Loman) yang sedang beristirahat di sebuah kamar hotel setelah seharian penuh bekerja menawarkan barang-barang dagangannya. Biff tak sabar untuk berkeluh kesah mengenai nilai ujian matematikanya yang tidak lulus. Biff yakin gurunya itu sangat hormat dan mau memenuhi permintaan Willy. Karena itu, Biff ingin agar Willy bersedia berbicara kepada guru matematikanya mengenai ujian perbaikan, sebab jika tidak, maka Biff tidak akan pernah menamatkan sekolah lanjutan kemudian bersekolah di sebuah universitas yang selama ini ia dambakan.

Kehadiran Biff yang tiba-tiba membuat Willy kalang kabut. Untung saja sebelum Biff membuka pintu kamar, Willy telah menyembunyikan perempuan simpanannya ke dalam kamar mandi. Namun sepandai apapun orang menyembunyikan kebusukan pada akhirnya akan tercium juga, begitupun rahasia "panas" yang disembunyikan oleh Willy terhadap Biff. Dengan perasaan malu, Willy mencoba membela diri dan mengatakan bahwa perempuan yang berada bersamanya itu hanyalah seorang pelanggan setia dan ia kebetulan sedang meminjam toilet di kamarnya karena toilet di rumah perempuan itu sedang direnovasi. Ketika mendengar kata-kata Willy, kontan saja perempuan itu merasa terhina dan diremehkan. Namun akhirnya, perempuan itu meminta Willy agar secepatnya memberikan hadiah stocking baru yang telah dijanjikannya. Willy pun segera mengabulkan permintaannya agar perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan kamar hotel.

Apakah Biff percaya dengan semua keterangan Willy? Tentu saja tidak. Lihat saja bagaimana Willy begitu mudahnya memberikan beberapa buah stocking baru. Padahal ibunya (Linda Lowman) hanya memiliki satu stocking saja, itupun sudah beberapa kali sobek dan penuh tambalan di mana-mana. Padahal selama ini Linda begitu sabar, setia dan tidak banyak menuntut apa-apa dari Willy karena sebagai seorang istri dan ibu dari kedua anaknya membuatnya kasihan kepada Willy yang saban hari sibuk bekerja sebagai sales -- penjual barang-barang rumah tangga dari pintu ke pintu. Inikah balaan atas kesetiaan dan pengertian?

Semua yang didengar dan dilihat Biff terasa seperti bara api yang akan menghanguskan tubuhnya. Perasaan marah dan kecewa menghilangkan semua rasa hormat Biff kepada Willy. Padahal selama ini Biff selalu menganggap Willy sebagai sosok pria yang terpuji dan sangat dicintainya. Tetapi sekarang, Willy tak jauh beda seperti ular yang licik, jahat dan menjijikkan.

Begitulah perseteruan antara anak dan bapak ini dikemas dalam dialog-dialog yang panjang dan terjalin dengan rapi. Namun sampai Willy tewas, karena kecelakaan saat berusaha mengejar Ben (adik Willy yang sukses), sosok pria yang kerap muncul dalam benak Willy, rahasia "panas" ini tak pernah diungkapkan keduanya.

Naskah ini penuh dengan persoalan, ketegangan yang benar-benar bisa kita lihat dan rasakan sehari-hari di lingkungan kita. Misalnya tentang nasib Willy Lowman yang sudah bekerja selama 36 tahun sebagai salesman pada sebuah perusahaan. Dengan usia yang terus bertambah, mobilitas Willy agak sedikit berkurang sehingga grafik penjualannya makin menurun -- masalah inilah yang kemudian menyebabkan ia dicampakkan, di-PHK, oleh perusahaannya tanpa diberikan penghargaan atau bintang jasa atas pengabdiannya.

Selain pekerjaan, persoalan menyempitnya lahan hijau yang disebabkan oleh pembangunan yang membabi buta menjadi persoalan lain yang diangkat dalam naskah ini. Jika kita flashback 20 tahun ke belakang, mungkin Desa Kuta atau Ubud tidak sesesak ini. Masih banyak sawah dan hutan lindung yang bisa kita lihat. Namun sekarang, pembangunan yang membabi buta itu menjadikan mata kita terasa sakit sebab tak ada lagi warna hijau yang bisa kita lihat, tak ada lagi hawa sejuk dan sinar matahari yang biasanya menyiram hangat tubuh kita. Semua lahan sudah terkepung oleh tembok-tembok beton, sudah terpendar oleh bening kaca dan bayangan apa jadinya Kuta atau Ubud 20 tahun ke depan?

Persoalan-persoalan modernitas pembangunan sangat berkait dengan persoalan sumber daya manusia. Maka dalam naskah ini pula disinggung mengenai persoalan pendidikan sebagai cara untuk meningkatkan sumber daya itu. Pendidikan nonformal, terutama yang biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga. Lebih banyak disorot dalam naskah ini seperti Biff (anak Willy), misalnya. Sejak kecil Biff diajarkan untuk selalu menuruti semua perintah orangtua, padahal belum tentu setiap perintah itu mengandung kebenaran. Biff sering diperintah oleh Willy untuk mencuri beberapa batang kayu di sebuah proyek bangunan atau ketika Biff mencuri sebuah bola di gudang sekolahnya. Willy tak pernah menasihati Biff. Dia terlalu memanjakan dan memenuhi semua permintaan anak-anaknya.

Rahasia pendidikan keluarga yang kurang beres ini terungkap ketika Biff dan Willy cekcok, saling menyalahkan dan saling menghujat, "Lihat apa yang telah engkau tanamkan dalam kepalaku, sering sekali aku mengambil barang-barang milik orang lain yang sesungguhnya tidak aku inginkan. Ayah telah berhasil mencetak aku menjadi pencuri!'' kata Biff berusaha menyudahi pertengkarannya dengan Willy sebab ia yakin Willy tak akan terima jika ia dikatakan salah dalam mendidik.

Begitulah Arthur Miller, lewat tokoh Biff secara keras mengkritik sistem pendidikan dalam sebuah keluarga yang notabene masih menganggap tabu atau masih menganggap bahwa seorang anak yang mengkritik orang tuanya adalah anak yang durhaka dan terkutuk. Bukankah seorang anak adalah "titipan" Tuhan? Seorang anak bukan boneka yang bisa dimiliki dan diapakan saja. Jadi, nilai kebebasan untuk memilih harus terus ditanamkan, maka ketika orangtua salah atau kurang benar maka si anak tidak merasa takut untuk menolak perintah orangtuanya dan orangtua pun jangan terlalu ringan untuk memvonis si anak sebagai anak yang tidak berbakti.

Merespons dan Menghidupkan
Percakapan-percakapan yang panjang antartokoh dalam naskah ini, selama pementasan, terasa tidak membosankan. Itulah kehebatan naskah ini. Kejenuhan itu menjadi tidak terasa karena metode dialektis antara pemain dengan penonton terjadi secara harmonis. Dialektis yang saya maksudkan adalah penggambaran secara nyata apa yang dibayangkan atau sedang digelisahkan oleh para tokohnya, terutama oleh Willy.

Penggambaran-penggambaran ini memang tidak terlalu vulgar terlihat, sebab tidak ada tokoh pengganti dalam adegan antara masa lalu dan masa kini. Semuanya diperankan oleh orang yang sama dan setting yang sama. Namun, lewat musik dan lighting, penonton bisa merasakan dan membedakannya. Pada pementasan ini, anggota Teater 108 telah menunjukkan sebuah tim kerja yang sehat dan harmonis -- semuanya saling mendukung dan saling berdialog untuk saling melengkapi walaupun suara musik sesekali memang terdengar terlalu keras dan nyaris menenggelamkan vokal para aktornya.

Lalu, bagaimana dengan para aktor? Tentu saja kekurangannya akan selalu ada, walaupun sangat kecil. Misalnya saja ketika adegan pertama di mana Biff dan Willy secara tidak sengaja mendengar percakapan kedua orangtuanya dari dalam kamar mereka. Dalam kamar itu (di atas tempat tidur) vokal Happy sering timbul-tenggelam -- terkadang jelas terdengar, terkadang tidak.

Konsistensi pada intonasi dan volume suara perlu lebih diperhatikan oleh Happy dan terkadang Happy kurang aktif menanggapi lawan bicaranya. Happy terlihat selalu menunggu, bengong tanpa bahasa tubuh sehingga terkesan masih menghapal dialog dan belum menikmati dialog tersebut. Sebenarnya hal tersebut bisa diingatkan dengan cara meminjam dialog lawan bicara atau bisa juga dengan lebih memaksimalkan gerakan-gerakan tubuh sehingga aktor yang lupa itu bisa teringat kembali dengan dialognya. Paman Ben, misalnya, beberapa kali terlihat mendahului, padahal adegan ilusi belum terjadi sehingga secara tidak langsung kehadirannya memecah konsentrasi penonton dan akibatnya lagi penonton kehilangan beberapa kata atau kalimat dari tokoh yang belum menyelesaikan dialognya. Bukankah para aktor dan sutradara memiliki maksud yang ingin disampaikan kepada penonton?

Selain dialog, eksplorasi dengan properti seperti tempat tidur (adegan Biff dan Happy) yang masih belum digunakan secara maksimal. Bisa saja Biff dan Happy melakukan dialog dengan berganti tempat duduk, berganti ranjang atau memain-mainkan bantal dan selimut yang ada di atas tempat tidur itu. Mungkin, benda-benda itu akan lebih hidup dan mampu menggambarkan sebuah makna bahasa (simbol) yang notabene bukan hanya berfungsi sebagai hiasan pelengkap saja.

endra efendi

Read More..

WAKTU ANTARA KAU DAN AKU


WAKTU ANTARA KAU DAN AKU
Mozaik Kehidupan Ala 108

Suasana hening dan gelap. Samar-samar temaram lampu memberi terang. Kemudian terlihat gunungan besar bergambar Semar dan Togog menancap di tengah panggung. Sedang di kanan-kirinya berjajar empat pemain yang dibalut kostum ketat sewarna kulit berpose bak wayang kulit. Suara mantra keluar dari mulut seorang pemain yang sedari awal berada di depan gunungan, kemudian dia menggerakkan gunungan tersebut laiknya sang dalang membuka sebuah pertunjukan wayang. Suara gemuruh gunungan dari seng memecah keheningan menandai jagad pewayangan telah dibuka dan dimulai.
Tidak berapa lama dua pemain laki-laki dan perempuan muncul dari balik gunungan dengan gerak teatrikal yang ritmis dan dinamis bak dua orang yang sedang dimabuk asmara. Berkejaran, merayu, memadu kasih, serta memintal asmara di taman kahyangan. Empat pemain yang sebelumnya berjajar mulai bergerak mengelilinginya. Suara riuh-gemuruh keluar dari mulut mereka mengiringi “persenggamaan” dua sejoli tersebut.
Persenggamaan yang tidak semestinya menyebabkan kelahiran yang salah. Empat orang pemain menari dengan memadukan gerak breakdance dan silat. Gerakan liar dari para pemain menyerupai gumpalan daging yang terus bergerak. Lamat-lamat terdengar Sri (Rika Puspasari) melantunkan kidung, “Singgah-singgah. Kulo singgah, tan suminggah. Durgokolo sumingkiro”. Sebuah kidung tolakbala yang biasa dilantunkan oleh masyarakat Jawa untuk mengusir demit dan danyang agar tidak mengganggu anak-anaknya.
Sri, sebagai sosok ibu dan perempuan Jawa dididik untuk sabar dan ngopeni. Begitu juga ketika memomong anak-anaknya Sri melandasi seluruh tindakannya dengan rasa asah, asih, dan asuh. Dan dia mendidik anak-anaknya sesuai dengan tradisinya. Tari- tarian tradisional dan etika Jawa diajarkan kepada anak-anak yang baru saja dia lahirkan. Dengan gerakan yang terbata anak-anak mengikutinya, namun itu hanya sebentar. Selanjutnya mereka lebih suka dengan gerakan yang tidak terarah dan penuh canda. Sri tahu zaman telah berubah sesuai ruh waktu yang membentuknya. Gunungan yang semula bergambar Semar dan Togog berganti dengan gambar kartun Sinchan dan Dora yang menandakan perubahan zaman. Suasana yang semula kental dengan warna tradisi tiba-tiba berubah dengan hingar bingar suasana dugem dan potongan-potongan tayangan televisi yang tidak asing bagi penonton. Cuplikan telenovela, berita kriminal, infotainment, iklan, ajang pencarian bakat, hingga permainan sepakbola disuguhkan secara satire.
Suasana “cerewet” yang tampak sebelumnya, berubah mencekam ketika suara “bunuh! Bakar!” keluar dari mulut para pemain. Satu per satu para pemain terlilit oleh pita kaset yang kusut. Suasana terlihat bertambah kacau saat angka-angka menghujani panggung lewat proyeksi LCD proyektor. Para pemain seakan menemukan permasalahan-permasalah sosial dari gulungan pita kaset kusut. Kata-kata ekstasi, korupsi, kolusi, nepotisme, illegal loging, aborsi, sek bebas, konsumerisme, kapal tenggelam, pesawat hilang, hingga lumpur lapindo muncrat dari mulut pemain.
Itulah bagian dari pementasan “Waktu Antara Kau Dan Aku” (disingkat menjadi WaKdA) oleh Kelompok SatuKosongDelapan (108) Denpasar di gedung The Oriental Kuta, Bali. Naskah ditulis serta disutradarai oleh Giri Ratomo, mantan ketua Teater Orok Universitas Udayana sekaligus pendiri Kelompok 108.
Malam itu (21/1) pementasan perdananya dimainkan oleh Rika Puspitasari, Moch Satrio Welang, Andika Ananda, Didit Dudu, Niko Wijanarko dan Haris Lawera disaksikan oleh 300-an penonton. Proyek produksi ke tujuh Kelompok 108 ini direncanakan akan dipentaskan di Solo dan Jogja pada Maret tahun ini.
Pertunjukan Semi –Teater Tari?
Alur cerita WaKdA terdiri lima bagian yang terjalin menjadi satu kesatuan laiknya rentetan kehidupan manusia dan alam semesta; dari tidak ada menjadi ada dan sebaliknya. Bermula dari Genesis (penciptaan alam semesta), Sri yang menjadi simbol bumi yang terkoyak dan dianiaya, kelahiran yang tidak sempurna, individu-individu sebagai gambaran anak-anak yang dibesarkan oleh televisi, hingga zaman plastik yang dimaksudkan sebagai karmaphala.
Pertunjukan yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut banyak menyuguhkan gerak tubuh yang terinspirasi dari tari tradisi Jawa yang dipadukan dengan breakdance, modern dance dan silat. Kesan harmonis kian terasa dengan alunan musik yang diolah secara manis, meskipun dengan setting panggung yang minimalis.
Yang menarik, penyajian Waktu antara Kau dan Aku mengadopsi unsur pemanggungan wayang kulit, di mana pemain tetap berada di atas panggung sedari awal hingga akhir pementasan. Laiknya wayang, para pemain berjejer sebelum mereka memainkan tokoh yang mereka perankan dan masuk ke balik gunungan saat peran usai mereka mainkan.
Pada tiga bagian awal pertunjukan – Genesis, Sri dan Kelahiran – suasana tradisi masih terlihat sangat kental, baik gerak tari, musik maupun artistik. Sangat bertolak belakang dengan dua bagian akhir pertunjukan yakni bagian individu-individu generasi televisi dan zaman plastik. Penggunaan video art sebagai penguatan artistik yang menegaskan “kekinian” di zaman plastik yang serba palsu, pura-pura dan hedon, ditambah musik live midi, semakin membuat garis jarak “waktu” antara masa lalu dan masa kini.
Bahkan, barangkali Giri Ratomo menangkap keadaan sekarang dan masa depan saat angka-angka menggeser fungsi nama juga identitas orang-orang, sehingga nama-nama tokoh dalam WaKdA digantikan dengan angka-angka. Tidak dipungkiri bila di jaman teknologi seperti sekarang, angka-angka menjadi dominan peranannya. Orang-orang lebih cepat akrab saat saling hapal nomor handphone, untuk menarik rekening tabungan cukup memencet beberapa nomor kode rahasia, harga-harga barang di supermarket ditengarai dengan susunan angka-angka, bahkan kode-kode rahasia di pangkalan militer terdiri dari susunan angka-angka.
Namun sayang ada beberapa adegan yang cukup mengganjal. Misalnya pada adegan tokoh 621 (Niko) yang merepresentasikan budaya tradisional yang “diperkosa” oleh tokoh 69 (Andika) yang kebingungan akan jatidirinya. Menurut saya sebenarnya dengan gerak-tari saja sudah cukup terwakili, tanpa harus mengeluarkan kata-kata seperti orang yang sedang bercinta. Terlalu vulgar. Seolah Giri Ratomo takut penonton tidak mengerti dengan gerak-tari tersebut. Padahal Kelompok 108 nyata-nyata telah mengungkapkan bahwa pementasan ini adalah dance theatre show.
Terlebih pada adegan tayangan-tayangan televisi, kesan teater tari malah tidak ada. Mereka terlalu banyak memparodikannya dengan bahasa verbal. Dan pemain pun terkesan hanyut dan “bergenit-genit” dengan tingkah yang berlebihan setelah mendapat respon (tawa) dari para penonton. Mungkin karena kecewa dengan bahasa serta adegan (lokal) yang tidak dimengerti, beberapa penonton asing (bule) keluar dari gedung pertunjukan saat adegan parodi yang banyak mengumbar bahasa verbal – bahasa yang tidak universal – tengah berlangsung. Bahkan beberapa cuplikan televisi dengan gaya “bercanda Denpasar” saya kira juga tidak cukup meng-Indonesia dan semestinya dibenahi bila hendak ditampilkan di Solo dan Jogja.
Bagaimana pun juga semuanya dikembalikan lagi kepada sang sutradara yang tentunya telah memperhitungkan setiap detailnya untuk menghasilkan sebuah pertunjukan yang “menarik”.

Jauhar Mubarok, Pemerhati Teater Modern Tinggal di Denpasar

Read More..