Selasa, 25 September 2007

Death of a Salesman

Realisme Penumpang Asing dalam Teater Indonesia
Sabtu, 04 Desember 2004

BARANGKALI ungkapan sutradara Putu Wijaya dan pengamat teater Radhar Panca Dahana cukup mewakili kenyataan yang kini melanda dunia teater (modern) kita. Putu mengatakan, bagi masyarakat Indonesia yang memiliki seni tradisi, realisme adalah penumpang asing yang baru datang, tetapi sudah langsung main kayu.

PADA awalnya Putu memaksudkan pernyataannya itu untuk menggambarkan betapa realisme masuk ke Indonesia dengan sangat deras dan tanpa basa-basi. Sementara sebagian besar dari kita memahami teater dari kacamata tradisi: bahwa teater senantiasa ada kaitan dengan hal-hal yang menyangkut ritual dan spiritual. Tetapi Radhar mempertegasnya dengan mengungkapkan kondisi mutakhir perteateran kita. "Realisme yang sampai kepada kita tidak tuntas, tidak mendalam, tetapi kita sudah buru-buru beralih kepada bentuk-bentuk lain," kata Radhar. Kepekatan pengaruh estetika teater tradisi telah menyebabkan kita tidak seutuhnya menangkap realisme.

Radhar adalah satu dari pengamat/penikmat teater yang setia mendatangi acara Panggung Teater Realis Indonesia, 26 November-2 Desember 2004, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Kelompok-kelompok teater yang diundang antara lain Studiklub Teater Bandung (STB), Teater Populer, Teater Gapit, Teater Gidag-Gidig, Teater Makassar, Teater Aristokrat, dan Komunitas Satu Kosong Delapan.

Sampai kini tonggak masuknya realisme ke dalam perteateran Indonesia dimulai ketika Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D Djajakusuma mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1950-an. Setidaknya institusi ini melahirkan Teguh Karya yang kemudian mendirikan Teater Populer.

Menurut Radhar, kepergian tokoh-tokoh seperti Teguh, Wahyu Sihombing, dan Suyatna Anirun dari STB, serta beberapa penganut realisme lainnya membuat gamang pengikut realisme berikutnya. "Dan itulah yang terjadi dalam Panggung Teater Realis itu," kata Radhar. Seolah-olah, tambahnya, teater realisme di Indonesia sudah mati sebelum selesai benar "diwariskan", dalam pengertian mencapai bentuknya yang "sempurna".

JIKA sebuah perhelatan berangkat dari sebuah kegamangan sejarah, ditambah jelajahan intelektual yang "miskin" dari para pelakunya, hasil apakah yang bisa diharapkan? Ambillah apa yang ditunjukkan oleh Teater Makassar, Sabtu (27/11) yang memainkan Hantu-Hantu karya Henrik Ibsen. Teater ini sebenarnya memiliki "tradisi" pementasan yang begitu panjang, terbukti sudah pentas sejak awal tahun 1970-an, tetapi masih saja tidak mampu menguasai hal-hal elementer seperti melakukan reinterpretasi terhadap naskah.

Hantu-Hantu karya Ibsen mewakili perdebatan kaum romantis dengan berembusnya pikiran-pikiran realis. Dan itulah yang menjadi awal mula berkembangnya realisme pada abad ke-19. Bayangkan perdebatan yang penuh makna-makna filosofis, dimainkan dalam waktu tak kurang dari tiga jam tanpa upaya aktualisasi, betapa akan menjadi naifnya bukan? Kita seolah sedang berhadapan dengan heroisme masa lalu belaka. Perdebatan itu tentu saja menjadi persoalan yang berdebu, di mana terentang jarak lebih dari satu abad antara penulisan naskah dan situasi mutakhir. Celakanya, tidak tampak upaya kelompok ini untuk menarik persoalan satu abad lalu itu, menjadi soal-soal kita dalam keseharian sekarang ini.

Kelompok ini rupanya sangat menganut paham, "teater realis adalah teater yang memindahkan realita begitu saja ke atas pentas". Dalam skala tertentu pandangan semacam ini sangat terlihat formalistis. Dan oleh karena itu, ia seolah-olah menghilangkan begitu saja "perjuangan" realisme atas dominasi kaum romantis yang sibuk melakukan pemujaan terhadap raja-raja yang diperlakukan sebagai dewa. Bahwa teater realis dihasratkan mengangkat kenyataan-kenyataan sosial yang kasat mata, problematika manusia sehari-hari, dan bukan buah pikiran atau cita-cita.

Radhar Panca Dahana mengatakan, selain kemiskinan penjelajahan intelektual, teater Indonesia yang mengaku realis terjebak oleh bentuk-bentuk realitas dangkal yang dipertontonkan televisi kita.

Cobalah tonton kembali apa yang dipentaskan Komunitas Satu Kosong Delapan (Denpasar), yang memainkan Matinya Seorang Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Selasa lalu. "Apa yang mereka pertunjukkan boro-boro memahami realisme secara benar, mereka malah berpentas sebagaimana pementasan teater 30 tahun lampau. Malah kebocah-bocahan begitu," kata Radhar.

Begitu juga pementasan Teater Aristokrat Jakarta, Senin lalu, berjudul Polisi karya Slawomir Mrozek. Guyonan-guyonan yang muncul dalam pementasan itu bukanlah lahir dari situasi sebagaimana isi dari naskah Mrozek. "Mereka menyuguhkan lelucon-lelucon yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri," kata Radhar lagi.

Kualitas pementasan semacam ini, tambah Radhar, justru menjadi "promosi" negatif terhadap situasi teater kita. "Kesempatan yang telah diberikan tidak dimanfaatkan dengan upaya sungguh-sungguh oleh para insan teater sendiri," katanya.

Masih untung dua hari menjelang perhelatan ini berakhir tampil Teater Gidag-Gidig, Rabu lalu, yang membawakan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya dan Teater Populer, hari Kamis, dengan lakon Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat Kartamihardja. Dua kelompok ini terbukti sangat fasih memainkan dua lakon tadi. Mereka benar-benar menampilkan penguasaan panggung serta materi yang pantas dipuji. Lepas bahwa Dag Dig Dug bisa dibantah sebagai naskah realis, Gidag-Gidig telah menunjukkan kepada publik teater kita, bagaimana cara yang benar memperlakukan sebuah materi.

Upaya DKJ menghadirkan kelompok-kelompok teater dengan "klaim" realis ini, pada satu sisi mungkin membuka kemungkinan membongkar kembali banyaknya "kekeliruan" di dalam menerjemahkan realisme. Namun pada sisi yang lain, perhelatan ini telah membantah dalilnya sendiri yang ingin membuktikan bahwa teater realis masih ada di Indonesia.

Kepergian tokoh-tokoh penyebar realisme, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, D Djajakusuma, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, dan Suyatna Anirun dalam tesisnya, tidak secara langsung melunturkan realisme itu sendiri. Sayangnya, paling tidak untuk kelompok-kelompok seperti STB, Teater Aristokrat, Teater Gapit, Teater Makassar, dan Komunitas Satu Kosong Delapan, tidak satu pun yang berhasil mempertunjukkan sebuah bukti bahwa realisme itu hidup dengan layak di dalam jagat teater kita. Realisme tetap menjadi "orang" asing yang tampak begitu sulit diakrabi. (CAN)

Tidak ada komentar: