Selasa, 25 September 2007

Death of a Salesman

Matinya Seorang Pedagang Keliling
Panggung Cantik, Akting Tak Menarik Kamis, 02 Desember 2004
JAKARTA – Panggung di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki dirancang apik oleh Kelompok Satu Kosong Delapan, Bali. Ada rumah bertingkat dua, dengan sebuah kamar bertempat tidur dua di bagian atas. Bagian bawah, ada ruang tamu dan meja makan. Di sisi kiri panggung, tergolek dipan yang diimajinasikan sebagai ruang tidur, dan pintu bertirai yang bisa membentuk siluet orang yang berada di belakangnya.
Panggung adalah imajinasi Kelompok Satu Kosong Delapan terhadap rumah yang ada dalam naskah karya Arthur Miller berjudul Death of A Salesman atau Matinya Seorang Pedagang Keliling. Karya ini dipentaskan sebagai bagian dari acara Panggung Teater Realis Indonesia, Selasa (30/11).
Sayangnya, panggung yang dibuat sangat cantik ini tidak diisi dengan tontonan yang sama menariknya. Disutradarai Giri Ratomo, para pemain yang hampir seluruhnya berusia muda berakting sangat membosankan, baik ekspresi wajah, intonasi bicara, maupun gerak tubuh. Tampak betul, mereka masih belum menikmati dialog yang diucapkan.
Penjiwaan yang tidak memadai ini terlihat pada adegan, misalnya, Miss Francy yang berteriak kepada Willy (dimainkan Kadek Curek Kurniawan Adiputra), tiba-tiba berbalik badan tanpa alasan yang jelas. Atau Willy memotong dialog Linda (diperankan Ratna Ariyatiningsih) saat ucapan istrinya itu masih mengantung. Hal ini terjadi berulang-ulang.
Kelemahan lain muncul saat perpindahan adegan. Satu adegan, Biff (Nur Setyanto) dan Happy (Fauzan Nadir) tertidur di lantai atas dan Willy bercerita tentang kedua anaknya. Tiba-tiba saja, keduanya telah muncul di bawah, tanpa ada tanda-tanda perpindahan adegan, dengan pencahayaan, ataupun musik misalnya.
Penampilan aktor ayah dengan aktor anak tak bisa dibedakan baik dalam vokal, make-up atau ekspresi wajah juga gesture tubuh yang sama sekali tak menunjukkan ketuaan usianya. Dialog antara Willy dan kedua anaknya, tak memperlihatkan perbedaan generasi. Karakter dan gaya pengucapan di antara mereka bertiga bahkan terlihat hampir sama. Willy tampil dengan sangat muda, energetik, suara yang bersemangat dan gerak yang tidak memperlihatkan sama sekali usia 40 hingga 60 tahun.

Naskah
Satu hal yang aneh, nama-nama tokoh maupun tempat yang tak diubah ke dalam nuansa lokal ternyata tidak sejalan dengan logat para pemainnya. Dengar saja Paman Ben yang berlogat Bali kental.
Tak bisa dihindari apabila akhirnya beberapa penonton bolak-balik atau keluar dari arena pertunjukan, karena dialognya yang memang tak berisi. Padahal, kisah yang diangkat si Miller sangat menarik dan memberi keleluasaan menggali karakter para pemain. Seorang pedagang keliling, Wolly Loman, dulunya optimistis dan penuh percaya diri, sayang ia tidak pernah berhasil. Pemberontakannya yang tak usai pada kegagalan hingga berujung pada ketuaan, pemecatan, dengan serangkaian kesombongan yang tiada henti, bahkan sampai dia menjelang mati.
Willy beristrikan Linda dan punya dua anak, Happy Loman dan Biff Loman, yang keduanya dibebaskan sejak masih bersekolah untuk bebas, sehingga kerap menerima kegagalan termasuk dalam ujian matematikanya. Biff, bahkan akhirnya tak diterima saat bekerja. Bernard, kawan kedua anaknya yang selama ini dianggap pecundang, malahan sukses ketika dewasa.
Naskah Miller mengangkat seputar keruntuhan impian orang Amerika ini, yang telah dikondisikan percaya pada kecantikan dan karisma ketimbang sekedar kepribadian. Nyatanya, mereka menjalani hidup menjadi orang biasa, seperti Willy seorang wiraniaga yang kerap berutang, bukan orang terhormat kecuali sisa keras kepala pada kesetiaan akan idealisme butanya.
Meski khas dengan realitas tradisi Amerika, karya Miller ini tetap terbuka untuk diadaptasi sesuai budaya negeri mana pun. Atau, bila bukan berupa adaptasi (mempertahankan naskah aslinya), diharapkan pemain bisa mengimbangi bagaimana keluarga yang gamang di tengah modernitas itu, di negeri Paman Sam sekalipun berdialog bahasa Indonesia, namun bisa terkesan netral.
(SH/sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar: